Nama : Victor Hevit Tarigan
NIM : 100301160
Manajemen Integrasi Yang Tepat Untuk Mendukung Peningkatan
Produksi
Perkebunan dan Ternak
Pendahuluan
Areal perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1978
mengalami laju perkembangan yang sangat pesat sampai tahun 1999 menjadi 2.975
ribu ha, meningkat sebesar 25 kali lipat. Perkebunan sawit tersebut merupakan
usaha perkebunan rakyat yang bermitra dengan perkebunan besar (32,7%), usaha
perkebunan besar milik negara (16,6%) dan swasta (50,7%). Perkembangannya
didominasi oleh perkebunan rakyat dan swasta, sedangkan perkebunan negara
relatif lebih kecil.
Perkembangan pertanaman kelapa sawit
di Indonesia cukup menggembirakan, yakni 14%/tahun dan akan terus bertumbuh
mengingat lahan yang sesuai agroekosistem dan agroklimatnya untuk kelapa sawit
masih cukup luas.
Sejak revitalisasi pertanian
peternakan dan kehutanan (RPPK) diluncurkan Presiden RI pada 2005, konsep
integrasi sawit – sapi mulai diadopsi. Dan memasuki 2007, beberapa pemerintah
daerah menjadikannya sebagai program unggulan. Pengembangan ternak sapi melalui
sistem integrasi di kawasan perkebunan kelapa sawit berpeluang besar untuk
dikembangkan di daerah, mengingat potensi perkebunan kelapa sawit yang tersedia
cukup luas terutama perkebunan rakyat. Gagasan integrasi usaha peternakan sapi
potong ke dalam usaha perkebunan kelapa sawit dapat mengatasi masalah
kelangkaan lahan yang menjadi sandungan obsesi capaian swasembada daging sapi
dan kerbau.
Usahatani ternak sapi menghadapi
tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan hasil samping
pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang. Disisi lain,
usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi melalui
pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal dan terus
naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam negeri
bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut,
pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil
samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai
sumberdaya.
Integrasi ternak ke dalam perkebunan
kelapa sawit dilakukan dengan pendekatan konsep LEISA (Low Ekternal Input
System Agriculture), di mana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan
ternak dapat memberi keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Oleh karena itu,
program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung
dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan
dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem
keterpaduan ini menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang
tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil
panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos
sebagai penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan.
Manfaat
Integrasi Ternak Dengan Perkebunan
Chaniago (2009) melaporkan bahwa
keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah diperolehnya output
tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude Palm Oil
(CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam limbah pabrik
kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan biaya pupuk
karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan
pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena
pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan.
Melalui
pola di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk
kimia karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari
kotoran sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan
sapi sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit
dijangkau. Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan
yang kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan
demikian, masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat
teratasi.
Menurut
Ruswendi et
al (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan)
1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan
produktivitas Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik
daripada Sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing
memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari
berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al
(2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan
hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih
tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan saja (0,199
kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan
mencapai 50%.
Selanjutnya
Sudaryono et
al (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman
kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan
Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20
kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg
menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%.
Diwyanto
et al
(2004) mengamati bahwa penggunaan Sapi Bali sebagai tenaga penarik gerobak
ataupun untuk mengangkut TBS di PT. Agricinal – Bengkulu telah memberikan
kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pemanen, penurunan biaya tenaga
kerja, serta menghasilkan kompos yang sangat diperlukan untuk mengurangi biaya
pemupukan.
Secara
sosial ekonomi keuntungan pada perusahaan perkebunan sawit diantaranya adalah
efisiensi tenaga kerja pemanen yang dapat ditingkatkan sebesar 50% dengan
introduksi sapi sebagai pengangkut TBS (Manti et al, 2004).
Manajemen Integrasi
Yang Tepat Untuk Mendukung Peningkatan Produksi Perkebunan dan Ternak
Manajemen
merupakan suatu kegiatan yang mencakup semua proses-proses yang berkaitan
dengan pekerjaan yang kita lakukan, dimana semakin baik suatu manajemen
dilakukan maka semakin baik juga hasil yang didapatkan. Sebaik-baiknya
pekerjaan dilakukan apabila tidak diikuti dengan manajemen yang baik maka hasil
yang didapatkan tidak akan sesuai antara pengeluaran dengan pengendaliaan.
Kegiatan
integrasi antara ternak dengan perkebunan merupakan suatu kegiatan yang banyak
menghasilkan keuntungan dan hampir tidak ada kerugianya. Dimana hasil olahan
samping dari perkebunan sawit tersebut dipergunakan sebagai pakan ternak , dan
sebaliknya hasil buangan dari ternak juga dapat dimanfaatkan oleh perkebunan
sawit.
Manajemen
yang tepat ditujukan untuk memeperkecil hal-hal yang dianggap kurang penting
atau pemborosan. Manajemen memaksa kita untuk memeperkeci input dan menerima
hasil yang besar di output.Namun, manajemen bukan hanya memperhatikan
keuntungan, tetapi dampak yang juga dihasilkan kedepannya.
Tak
lepas dari arti manajemen yang sebenernya, bahwa dalam integrasi ternak
perkebunan harus dilakukan pengontrolan, pemantauan, perbaikan, dan juga
penerapan teknologi yang dapat meningkatkan kualitas perkebunan kelapa sawit
dan ternak. Dimana diperlukan teknologi dalam pengolah pakan ternak yang
berasal dari hasil samping perkebunan. Begitu juga sisa dari ternak yang diolah
dengan teknologi sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi perkebunan.
Tak
ada manajemen yang mengarah ke kerugiaan, semua bertujuan memeberi keuntungan.
Jadi manajemen harus dipertimbangkan dari waktu, biaya, dan tenaga yang
dikeluarkan harus setimbang dengan hasil yang didapatkan. Jadi dengan demikian,
dengan dilakukannya integrasi semakin memberikan keuntungan dan memperkecil
pengeluaran yang harus dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar