Senin, 11 Februari 2013

Tugas Integrasi Ternak dan Perkebunan


Nama  : Victor Hevit Tarigan
NIM     : 100301160

Manajemen Integrasi Yang Tepat Untuk Mendukung Peningkatan Produksi
Perkebunan dan Ternak
Pendahuluan
            Areal perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1978 mengalami laju perkembangan yang sangat pesat sampai tahun 1999 menjadi 2.975 ribu ha, meningkat sebesar 25 kali lipat. Perkebunan sawit tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat yang bermitra dengan perkebunan besar (32,7%), usaha perkebunan besar milik negara (16,6%) dan swasta (50,7%). Perkembangannya didominasi oleh perkebunan rakyat dan swasta, sedangkan perkebunan negara relatif lebih kecil.
Perkembangan pertanaman kelapa sawit di Indonesia cukup menggembirakan, yakni 14%/tahun dan akan terus bertumbuh mengingat lahan yang sesuai agroekosistem dan agroklimatnya untuk kelapa sawit masih cukup luas.
Sejak revitalisasi pertanian peternakan dan kehutanan (RPPK) diluncurkan Presiden RI pada 2005, konsep  integrasi sawit – sapi mulai diadopsi. Dan memasuki 2007, beberapa pemerintah daerah menjadikannya sebagai program unggulan. Pengembangan ternak sapi melalui sistem integrasi di kawasan perkebunan kelapa sawit berpeluang besar untuk dikembangkan di daerah, mengingat potensi perkebunan kelapa sawit yang tersedia cukup luas terutama perkebunan rakyat. Gagasan integrasi usaha peternakan sapi potong ke dalam usaha perkebunan kelapa sawit dapat mengatasi masalah kelangkaan lahan yang menjadi sandungan obsesi capaian swasembada daging sapi dan kerbau.
Usahatani ternak sapi menghadapi tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan hasil samping pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang. Disisi lain, usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi melalui pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal dan terus naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam negeri bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya.
Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan pendekatan konsep LEISA (Low Ekternal Input System Agriculture), di mana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Oleh karena itu, program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos sebagai penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan.


Manfaat Integrasi Ternak Dengan Perkebunan
            Chaniago (2009) melaporkan bahwa keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah diperolehnya output tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude Palm Oil (CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam limbah pabrik kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan biaya pupuk karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan.
Melalui pola di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk kimia karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari kotoran sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan sapi sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit dijangkau. Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan yang kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan demikian, masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat teratasi.
Menurut Ruswendi et al (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan produktivitas Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada Sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al (2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan mencapai 50%.
Selanjutnya Sudaryono et al (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%.
Diwyanto et al (2004) mengamati bahwa penggunaan Sapi Bali sebagai tenaga penarik gerobak ataupun untuk mengangkut TBS di PT. Agricinal – Bengkulu telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pemanen, penurunan biaya tenaga kerja, serta menghasilkan kompos yang sangat diperlukan untuk mengurangi biaya pemupukan.
Secara sosial ekonomi keuntungan pada perusahaan perkebunan sawit diantaranya adalah efisiensi tenaga kerja pemanen yang dapat ditingkatkan sebesar 50% dengan introduksi sapi sebagai pengangkut TBS (Manti et al, 2004).
Manajemen Integrasi Yang Tepat Untuk Mendukung Peningkatan Produksi Perkebunan dan Ternak
            Manajemen merupakan suatu kegiatan yang mencakup semua proses-proses yang berkaitan dengan pekerjaan yang kita lakukan, dimana semakin baik suatu manajemen dilakukan maka semakin baik juga hasil yang didapatkan. Sebaik-baiknya pekerjaan dilakukan apabila tidak diikuti dengan manajemen yang baik maka hasil yang didapatkan tidak akan sesuai antara pengeluaran dengan pengendaliaan.
            Kegiatan integrasi antara ternak dengan perkebunan merupakan suatu kegiatan yang banyak menghasilkan keuntungan dan hampir tidak ada kerugianya. Dimana hasil olahan samping dari perkebunan sawit tersebut dipergunakan sebagai pakan ternak , dan sebaliknya hasil buangan dari ternak juga dapat dimanfaatkan oleh perkebunan sawit.
            Manajemen yang tepat ditujukan untuk memeperkecil hal-hal yang dianggap kurang penting atau pemborosan. Manajemen memaksa kita untuk memeperkeci input dan menerima hasil yang besar di output.Namun, manajemen bukan hanya memperhatikan keuntungan, tetapi dampak yang juga dihasilkan kedepannya.
            Tak lepas dari arti manajemen yang sebenernya, bahwa dalam integrasi ternak perkebunan harus dilakukan pengontrolan, pemantauan, perbaikan, dan juga penerapan teknologi yang dapat meningkatkan kualitas perkebunan kelapa sawit dan ternak. Dimana diperlukan teknologi dalam pengolah pakan ternak yang berasal dari hasil samping perkebunan. Begitu juga sisa dari ternak yang diolah dengan teknologi sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi perkebunan.
            Tak ada manajemen yang mengarah ke kerugiaan, semua bertujuan memeberi keuntungan. Jadi manajemen harus dipertimbangkan dari waktu, biaya, dan tenaga yang dikeluarkan harus setimbang dengan hasil yang didapatkan. Jadi dengan demikian, dengan dilakukannya integrasi semakin memberikan keuntungan dan memperkecil pengeluaran yang harus dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar